Sabtu, 13 Januari 2018

SHORT STORY



PAIN

“Aaaaa...nggak nggak...jangan aaaa...”
“Tita, bangun...kamu mimpi buruk lagi ya?”
“Ah iya, Kak...” Kataku sembari mengusap keringat yang mengucur deras di dahiku.
“Yaudah ayo gih siap-siap sekolah.” Kata Kak Damar seraya keluar dari kamarku.
            Mimpi itu memang selalu menghantuiku setiap aku memejamkan mata. Peristiwa yang tidak akan pernah bisa aku lupakan. Peristiwa yang telah merubah hidupku secara keseluruhan. Kecelakaan itu merenggut kedua orang tuaku, hanya aku yang selamat sendirian. Peristiwa itu juga merenggut seluruh harta peninggalan orang tuaku dari tanganku sebagai anak satu-satunya yang diambil oleh keluarga serakah tanpa belas kasih dan bahkan teman-temanku pun tak lagi ingin berinteraksi denganku setelah aku jatuh miskin. Yang kupunya sekarang hanyalah kak Damar, Damar Ramadhan, malaikatku. Malaikat tanpa sayap yang memiliki mata bulat cokelat yang indah, postur tubuh tegap yang selalu siap melindungiku dari apapun, dan senyum miringnya yang selalu membuatku betah untuk terus melihatnya.
“Tita...ayo cepet ah mau aku anter gak? Nanti aku terlambat kuliah!”
“Iya Kak, iya maaf.” Kataku sambil berlarian setelah menyeruput susu dan mengambil setangkup roti buatan Ibu. Yap, Ibu Kak Damar...bukan Ibuku.
“Damar...ini masih pagi kok, kasian loh Tita buru-buru gitu sarapannya.” Kata Ibu.
“Pagi apaan, Bu? Ini udah jam 7  lho,Itu sih salah Tita sendiri, Bu yang bangunnya telat mulu.”
“Iya deh Kak, maaf ya, yuk berangkat aku udah siap nih.” Kataku sambil mengecup tangan Ibu.
 Walau terkesan galak, tapi aku tahu Kak Damar sangat menyayagiku. Kalau tidak, mungkin saja dia tidak akan mengajakku untuk tinggal di rumahnya kala itu dan mungkin saja aku sudah diusir sejak pertama kali buat masalah di rumahnya.  Ya, Kak Damar adalah orang yang menemukanku berjalan luntang lantung di tengah hujan deras, sesaat setelah orang tuaku meninggal dan keluargaku yang lain mengambil alih seluruh perusahaan, rumah, dan lain sebagainya yang harusnya menjadi milikku. Kak Damar membawaku ke rumahnya, memang Kak Damar bukan keluarga kaya raya, rumahnya biasa saja, tetapi sangat penuh kehangatan. Akupun terpaksa pindah sekolah karena keluarga Kak Damar tidak sanggup untuk membiayaiku di sekolah lamaku, tetapi tak apa toh aku juga benci sekolah itu beserta seluruh teman munafikku.
***
Umurku dan Kak Damar berbeda satu tahun. Rasanya sedih saat dia akhirnya menjadi mahasiswa dan tidak lagi pergi ke sekolah denganku. Walau dia memang tetap mengantarku sekolah dan menjemput di kala memungkinkan, tetapi tetap saja aku tak lagi merasa aman, aku tak lagi merasa dilindungi di sekolah dari bully-an teman-teman yang mencapku sebagai benalu dari keluarga Kak Damar. Dulu aku sempat melarikan diri dari rumah karena tak tahan lagi mendengar cemoohan orang lain, tetapi Kak Damar akan selalu mencariku, dia tak akan ingin pulang tanpa aku dan dia selalu berhasil menemukanku. Karena itu aku terlalu terbiasa membiarkan diriku bergantung padanya.
Aku pun menyadari, perasaan bergantung padanya ini akan menjadi perasaan yang berbahaya. Perasaan ini akan terus tumbuh menjadi sesuatu yang terasa berbeda, berbeda dari apa yang Kak Damar rasakan kepadaku. Aku menyadari dengan sangat bahwa Kak Damar memang menyayangiku, tetapi hanya sebagai adik. Bukan seperti perasaanku terhadapnya seebagai seorang laki-laki yang sudah tulus aku cintai karena seluruh perbuatannya.
Aku merasa sakit, setiap dia menceritakan bahagianya dia menemukan seorang wanita yang diimpikan di kampus barunya. Hatiku hancur tiap kali Kak Damar meminta nasihatku sebagai sesama perempuan untuk mendekati dia. Namanya Meilita, namanya seindah parasnya, Kak Mei memiliki mata biru yang cantik, kulitnya putih pucat tetapi pipinya selalu bersemu merah setiap Kak Damar memujinya jika dia berkunjung ke rumah, dia terlihat sangat serasi dengan Kak Damar bahkan Ibu dan Ayah pun terkesan sudah siap merestui pernikahan Kak Damar dan Kak Mei jika mereka meminta untuk dinikahkan sekarang.
***
Sampai suatu ketika, aku memergoki Kak Mei pergi dengan laki-laki lain. Ternyata parasnya tak seindah perrbuatannya. Hatiku hancur melihat betapa teganya dia mengkhianati Kak Damar, malaikatku, seseorang yang sangat aku cintai melebihi diriku sendiri. Saat aku menceritakannya kepada Kak Damar, dia marah. Untuk pertama kalinya aku melihatnya semarah ini terhadapku, hatiku semakin hancur karena Kak Damar tidak mempercayaiku, dia lebih memilih mempercayai Kak Mei yang belum lama ini dikenalnya. Bodohnya aku memang tidak membawa bukti apapun agar Kak Damar percaya.
***
Esoknya, aku memutuskan untuk membuntuti Kak Mei untuk mendapatkan buki perselingkuhannya. Aku mendapatkan alamat rumah Kak Mei dari buku catatan Kak Damar dan sesuai ekspektasiku, pagi ini laki-laki yang kemarin ku lihat itu menjemput Kak Mei, padahal Kak Mei bilang pada Kak Damar di telepon hari ini tidak ada kuliah.  Kak Mei pasti sengaja berbohong, ini kesempatan emas untukku mempotret atau bahkan memvideokan mereka.
Saat sedang asyik mempotret dan memvideokan mereka, handphoneku berdering, telepon dari Kak Damar.
“Kamu ke mana aja sih jam segini belum pulang? Tadi aku lewat sekolahan kamu, sekolah kamu udah sepi, kamu di mana? Jangan keluyuran deh!”  Cercar Kak Damar.
“Iya Kak, Iya bentar lagi aku pulang...aku lagi cari bukti soal Kak Mei”
“Hah? Apa? Kamu masih ngotot aja ya soal Mei ya ampun.”
“Aku harus lakuin ini supaya kakak percaya sama aku, udah dulu ya kak, dah!” Kataku sambil memutuskan telepon.
            Saat aku melihat ke arah Kak Mei dan selingkuhannya, mereka sudah menghilang. Aku mengitari area itu, tetapi aku kehilangan jejak meereka.
“Yah ya sudahlah, toh aku juga sudah dapat beberapa foto” Saat aku menengok ke belakang, tiba-tida ada Kak Mei.
“Udah ambil foto akunya? Akunya keliatan gendut gak? Akunya cantik kan?” Katanya sambil tersenyum licik.
“...c...cantik kok Kak Mei selalu cantik” Kataku tergagap.
“Karena aku selalu cantik kamu jadi cemburu kan? Kamu suka kan sama Damar? Berani-beraninya sampai buntutin aku!”
“E..nggak Kak, aku gak suka Kak Damar, aku kan adiknya hehe” Kataku tertawa canggung.
“Orang bego mana sih yang gak ngeliat kalau kamu suka Damar? HAHA atau Damar itu emang bego ya...gak pernah sadar kamu suka dia, bahkan Damar juga bisa aku begoin dengan cinta palsu aku HAHA” Kak Mei tertawa puas sambil mencoba mecengkram tanganku “Siniin gak handphone kamu! Hapus semua foto dan video itu karena aku belum puas manfaatin kepinterannya Damar untuk tugas-tugasku” Oh astaga jadi ini ternyata alasan Kak Mei berpacaran dengan Kak Damar, aku tidak rela, aku harus membawa kabur bukti ini.
            Untungnya aku berhasil lari dari Kak Mei, tetapi ternyata dia tak menyerah untuk mengejarku bahkan selingkuhannya mengeluarkan mobilnya untuk mengejarku dan DUARRR!
***
“Dok, gimana keadaanya Tita, dok?” Tanya Ibu Kak Damar penuh khawatir saat Dokter keluar dari ruanganku.
“Kondisi Tita masih kritis, Bu dan dia terus-terusan memanggil nama Damar, adakah yang bernama Damar di sini?” Kak Damar yang mendengar hal tersebut langsung bangkit menemuiku. Kak Damar tak kuasa menahan tangis melihat kondisiku.
“Ta, maafin aku, Ta. Ini semua salah aku, coba aku percaya omongan kamu, Ta.”
“Gak...apa-apa Kak...yang penting Kak Damar udah percaya aku sekarang” Kataku sambil tersenyum.
“Iya, Ta. Aku janji aku bakal percaya kamu terus dan kamu tenang aja Mei sama selingkuhannya udah dibawa ke kantor polisi tadi, jadi mereka gak akan ganggu kamu lagi, Ta!”
“Makasih ya Kak udah mau percaya sama Tita, makasih ya untuk segala hal yang udah kakak lakuin untuk Tita, makasih udah mau jadi malaikatnya Tita, sekarang Tita bisa pergi dengan tenang nyusul Ayah sama Ibu Tita, makasih juga untuk Ayah sama Ibu Kak Damar yang mau ngurus Tita, jadi pengganti Ayah dan Ibu untuk Tita.”
“Nggak...kamu ngomong apasih, Ta. Kamu gak boleh pergi!” Detak jantung Tita tiba-tiba berhenti, Damar terus meneriakan Dokter untuk mencari bantuan tetapi  Dokter tidak bisa menyelamatkan Tita.
“Ta...padahal kan aku belum sempet bilang kalau aku bego, gak pernah liat ada cinta yang jelas-jelas nyata untuk aku dari kamu, Ta dan tanpa aku sadari aku juga udah lama mendem perasaan ini buat kamu, Ta! Jangan tinggalin aku, Ta!.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SHORT STORY

UNUSUAL GALLERY IN PENGADEGAN             Barbara Austen was a student of The Pengadegan Art School near STBA LIA. She was a really...