Sabtu, 13 Januari 2018

SHORT STORY



THE TRUTH

            Perekenalkan aku adalah Tania Fransisca seorang mahasiswa semester 6 yang cukup banyak diketahui di lingkungan kampus, sebut saja namaku dan aku yakin mereka akan mengetahui aku, tetapi aku mungkin belum tentu mengetahui mereka. Bukan bemaksud sombong, tetapi memang akulah satu-satunya mahasiswa yang menjadi buah bibir para dosen karena diangkatanku, hanya aku yang selalu memegang IP (Indeks Prestasi) sempurna 4,0 pada setiap semester. Aku pun aktif dan sempat dipercayakan untuk menjadi ketua dalam suatu organisasi dan setiap event yang aku pegang selalu menuai kesuksesan, kepuasan, dan respon positif dari setiap partisipan, selain itu aku juga cukup menawan dengan wajahku yang tidak gempal tetapi juga tidak begitu tirus, kulitku yang cerah kekuningan, dan tinggiku yang semampai untuk menarik perhatian hampir seluruh lawan jenis di kampusku. Yups, aku bisa mendapatkan lelaki manapun yang ku mau, tetapi aku tidak pernah benar-benar menemukan laki-laki yang tulus mencintaiku. Aku bahkan sudah tidak tahu bagaimana mendefinisikan kata tulus itu.
            Pernah suatu ketika ada beberapa laki-laki yang sangat baik terhadapku dan begitu perhatian tetapi ternyata mereka hanya mengambil keuntungan dariku, seperti mereka haus akan kepopularitas di kampus, mereka ingin numpang eksis atas kepopuleranku, atau lebih parahnya mereka hanya memanfaatkan kinerja otakku untuk membantu mereka mengerjakan tugas. Mungkin aku yang memang terlalu baik atau bahkan terlalu bodoh untuk jatuh dalam perangkap laki-laki tak bertanggung jawab itu, tetapi sesungguhnya aku belum pernah sama sekali menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
            Ya jangan heran, aku memang belum menemukan sosok laki-laki yang aku cari dan aku cintai sepenuh hati. Jangan tanya juga sudah berapa banyak komentar dari teman-temanku atau bahkan orang tuaku pun ikut-ikutan memprotes aksiku ini.
“Nduk, kamu mbok ya cari pacar gitu loh, inget umurmu, udah semester 6 kok masih aja jomblo toh.”
“Aku kan lagi fokus kuliah, Yah. Mbok ya doain toh biar cepet wisuda, malah suruh cari pacar.”
“Ayah percaya sama kamu, Nduk. Kamu bisalah wisuda cepet, tapi jangan tugas mulu gitu loh yang diperhatiin.”
“Iya Nduk, Ayahmu itu benar loh...percuma kalau kamu wisuda cepet tapi ga ada yang kamu gandeng pas wisuda” Ibuku tiba-tiba muncul dari dapur dan langsung bersekutu dengan Ayah.
“Ibu sama Ayah ini ya bisanya ngeledekin anaknya mulu” Kataku pura-pura kesal supaya mereka bersedia untuk mengakhiri topik ini.
“Hahaha Nduk, inget umur Ibu sama Ayah juga, kita kan pengen liat kamu nikah sama laki-laki yang lebih hebat dari Ayah yang akan selalu jaga kamu kalau Ayah udah nggak ada” Ah ternyata topik ini malah terus berlanjut dan membuatku pilu.
“Nggak mungkin ada laki-laki yang bisa  ngalahin Ayah, nggak mungkin ada yang bisa jaga aku ssebaik Ayah” Kataku sembari meneteskan air mata.
“Pasti ada, Nduk suatu saat nanti cuma emang kamu belum ketemu waktu yang tepat untuk bisa dapetin laki-laki itu” Kata Ibu sambil memelukku.
***
“Sya, masa Bokap sama Nyokap nanyain gue punya pacar lagi sih semalem untuk kesekian kalinya” ceritaku saat berjumpa dengan Tasya di kampus.
“Dan udah kesekian kalinya juga kan gue udah nyomblagin lo dengan cowok-cowok terbaik yang gue kenal, tapi selalu lo tolak?”
“Cowok-cowok terbaik apaan? Cowok-cowok yang manfaatin gue doang maksudnya? Hahaha. Tapi seriusan deh, semalem malah jadi melow gitu Bokap gue nyinggung-nyinggung kalau dia udah gak ada gimana, siapa yang akan jaga gue, kan gue sedih, Sya.”
“Hmm okay gue akuin ada beberapa emang cowok yang gak bener itu hahaha sorry...tapi kalau Bokap lo aja sampe bilang kaya gitu, lo mesti serius cari pacar dari sekarang” Kata Tasya sambil mengguncang-guncang tubuhku.
“Lo kira gampang apa cari pacar? Lo aja yang nyari pacar mulu dari dulu gak dapet, apalagi gue? Hahaha.”
“Sialan lo ye... hahaha tapi serius deh gue punya temen yang beda sama cowok yang pernah gue kenalin dulu ke lo” Kata Tasya penuh keyakinan.
“Lo yakin? Gue sih nggak deh kayanya...”
“Lo mesti ketemu dulu deh sama orangnya sekali aja paling nggak, kalau lo gak suka gue gak akan maksa...gue hubungin ya orangnya, ntar gue suruh dia chat lo” Kata Tasya tanpa mempedulikan protesku.
***
            Namanya Abyan Arief, umurnya lebih tua dariku 3 tahun. Secara fisik dia bisa buat para cewek-cewek tertarik dan saat dia mengeluarkan suara baritone-nya pasti bikin cewek-cewek tergila-gila. Masalahnya dia jarang mengeluarkan suara, aku nggak tahu apa dia memang orang yang benar-benar pendiam atau memang obrolan kita yang nggak nyambung. Minat dan hobi kita terlalu berbeda, aku suka banget musik klasik sedangkan dia suka banget musik rock, aku suka banget baca buku sedangkan dia tahu Jane Austen penulis keren favoritku aja nggak, bahkan saat kita nonton film, dia malah sukses tertidur dengan pulasnya dan aku berakhir nonton sendirian. Nggak banyak percakapan yang terjadi di anatara kami karena kalau aku ngoceh sendiri tentang apapun yang bisa kulihat atau apapun minat dan hobiku itu gak dihitung percakapan, bahkan parahnya dia sendiri juga jarang mengungkapkan minat dan hobinya, seolah dia memang tidak ingin membuka dirinya denganku.
***
“Gimana-gimana kemaren? Abyan ganteng banget kan? Gue yakin lo pasti suka kan? Lo ngapain aja kemaren sama dia?” Tasya langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan
“Yaampun, Sya baru juga gue dateng udah diinterogasi aja” Kataku manyun.
“Abis gue penasaran, kali ini cowok pilihan gue gak gagal kan? Cerita dong, Tan”
“Lo mau tau?”
“Iyalah, buru cerita” Kata Tasya tidak sabaran.
“Abyan ganteng sih...tapi jarang banget ngomong”
“Ohiya gue lupa bilang sama lo Abyan emang anaknya pendiem gitu, Tan jadi lo sih yang mesti nyari topik pembicaraan sama dia”
“Udah, Sya. Gue udah bisa dibilang gila kali ngobrol sendiri mulu” Kataku frustasi.
“Serius lo? Masa sih Abyan sependiem itu?”
“Mungkin emang minat kita kali ya yang beda banget, tapi gimana juga gue bisa tau minatnya dia, dia aja ga pernah cerita”
“Serius lo? Lonya kali kurang mancing dia. Jalan sama dia sekali lagi deh biar lo deket sama dia!”
“No way, cukup ya buat gue jalan sama dia. Lo bilang juga kan coba jalan sekali aja dan udah gue turutin kan saran lo? Jadi bye Abyan”
“Lo lupa ya sama omogan lo dan bonyok lo? Amnesia lo ye?”
“Ya abis mau gimana, gue sama Abyan emang beda”
“Ya bedalah, lo cewek, dia cowok hahaha. Tapi kalau gitu kita berhasil dong nemuin masalah lo tentang percintaan ini? Lo berarti butuh orang yang punya minat yang sama kaya lo!”
“Berenti becanda ga lo? Hahaha. Eh tapi iya juga sih ya...”
“Yaudah kalau gitu gampang kan? Lo tinggal pergi ke perpus kek, cari cowok yang sama-sama ngefans berat sama Jane Austen kesayanagn lo itu atau banyakin nonton konser musik klasik kek biar lo ketemu sama pianist-pianist yang bisa mencet-mencet hati lo biar meleleh hahaha, gimana?”
“Boleh juga ide lo, tumben lo pinter hahaha”
***
            Setelah perburuanku beberapa hari belakangan ini, aku berhasil menumukan seorang lelaki yang sudah memainkan piano sejak dia berumur 4 tahun ya walau dia tidak begitu menyukai Jane Austen, tetapi setidaknya dia juga mengerti Sastra, penulis favoritnya adalah Haruki Murakami. Aku pun pernah membaca dua judul buku Murakami: Norwegian Wood dan Kafka On The Shore, tetapi selebihnya aku tidak begitu mengetahui apapun tentang penulis asal Jepang tersebut.  Ah iya, saking terlalu semangatnya menceritakan kesamaan kami, aku sampai lupa memperkenalkannya, namanya Faiz Lazuardi. Namanya jelas seindah orangnya, dia mempunyai postur tubuh yang tegap, ideal bak atlet-atlet internasional karena dia sering melakukan workout setiap weekend dan ternyata memang benar ya hasil workout lebih bagus daripada hasil gym atau fitness dan pastinya jauh lebih hemat katanya hahaha. Ya, memang benar Laz panggilan akrabnya ini memang agak sedikit pelit, tapi tak apa toh akupun juga mempunyai prinsip yang sama dengannya: tidak suka membuang uang apalagi dengan uang orang tua.
***
            Tak terasa sudah beberapa minggu aku jalan dengan Laz tetapi kami masih belum memiliki status yang jelas dan semakin lama kami melakukan banyak hal bersama justru membuatku semakin gamang, aku merasa bosan menjalani rutinitsaku dengan Laz yang sama terus menerus. Ke perpustakaan, membaca buku yang sama, berdiskusi tentang tokohnya setelah kami selesai membacanya. Ke pertunjukan musik klasik atau bahkan aku melihat Laz memainkan piano untukku berkali-kali dan melihatnya latihan untuk kompetisi musik yang kan ia ikuti akhir tahun ini.
            Aku bosan, entah lelaki seperti apa yang aku inginkan. Lelaki dengan minat yang beerbeda aku tak bisa mengimbanginya, lelaki dengan minat yang sama malah membuat aku bosan. Mungkin benar seperti kutipan Jane Austen dalam buku Sense And Sensibility yang selalu kuingat: semakin luas kulihat dunia, semakin aku yakin tak ada pria yang bisa sungguh-sungguh kucinta.
***
            Suatu ketika, Ayah dan Ibu bicara padaku tentang anak temannya Ayah yang baru pulang dari luar negeri dan menyelesaikan Strata satunya di sana dengan label cum laude. Kuduga, mungkin Ayah dan Ibu sudah mendengar dari Tasya tentang berbagai upayaku untuk mendapatkan pacar dan akhirnya kedua orang tuaku turun tangan, tetapi akupun tak sepenuhnya yakin apakah kisahku akan berbeda dengan yang ini?
***
            Mungkin aku memang harus mengakui kalau kaliamat: pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk anaknya itu benar karena Muhammad Fahri Adzan ini adalah laki-laki yang sangat sempurna. Seperti namnnaya Adzan, setiap Adzan selesai dikumandangkan dia akan langsung mengambil air wudhu dan menunaikan shalat. Seperti gelar cum laude yang telah diraihnya, tutur kata dan sikapnya pun mencerminkan orang yang memiliki intelektual tinggi dan minat sastra yang tidak kalah tingginya. Dia juga menyukai Jane Austen dan musik klasik sama sepertiku. Tetapi yang menjadi masalah: dia jarang sekali menghbungiku. Mungkin ini sikapnya karena ingin berpegang teguh pada prinspnya untuk tidak boleh pacaran sebelum menikah, tetapi apakah chat saja sudah membuatnya sangat berdosa dan masuk neraka? Aku kan hanya ingin mengenalnya lebih dalam.
“Serius lo, Fahri gak ngehubungin lo?” Tanya Tasya saat aku ceritakan soal Fahri.
“Serius...dia gak suka kali ya sama gue?”
“HAH? SSEORANG TANIA BISA NIH NGOMONG KAYA GINI? HAHAHA” Tasya terbahak mendengar ucapanku.
“Sial lo ye...serius nih gue”
“Hahaha iya deh sorry sorry...tapi seriusan deh kayanya gak mungkin dia gak suka sama lo, secara lo kan perfect abis...mungkin karena prinsipnya gak mau pacaran itu kali ya...atau lo mau coba selidikin dia?”
“Hah? Selidikin gimana maksud lo?”
“Ya lo buntutin aja dia, lo cari tau lebih dalem kaya apa sih sifat aslinya dia”
“Boleh juga tuh ide lo”
***
            Dengan rasa penasaran yang menggebu, aku dan Tasya menuju rumah Fahri yang ku dapat alamatnya dari buku-buku catatan Ayah, aku tidak ingin menanyakan langsung kepada Ayah dan Ibu tentang alamat Fahri karena toh aku ke sana kan hanya untuk membuntuti Fahri.
            Sesampainya di rumah Fahri, aku melihat mobil yang biasa dia tumpangi keluar, aku membuntuti mobilnya dengan menumpang sebuah taksi karena jika aku menggunakan mobil pribadiku, aku takut dia sudah mengenalinya dan rencanaku akan gagal.
            Mobil Fahri berhenti di suatu kantor yang aku duga mungkin itu memang tempatnya bekerja karena dia belum pernah membicarakan pekerjaannya padaku atau pun orang tuaku. Setelah cukup lama menunggu, tidak ada hal berarti terjadi. Mungkin memang benar, Fahri memang laki-laki baik-baik yang tidak pernah berbuat macam-macam. Pada sore menjelang malam, mobilnya keluar dari kantor, tetapi mobil itu bukan melaju ke arah rumahnya, mobil itu melaju ke suatu bar. Di sana Fahri menghabiskan tiga gelas bir dalam waktu 15 menit dan tidak lama berselang, ada seorang wanita yang menghampiri Fahri dan mereka berpelukan di sana. Aku sudah tidak tahan lagi, segera saja aku menghampiri Fahri.
“JADI INI YANG DILAKUKAN SEORANG FAHRI?” Teriakku tak terkontrol membuat seisi bar menoleh ke arahku.
“..Tan...Tania kamu ngapain di sini?” Tanyanya gagap.
“Aku? Menyelidiki calon imamku yang begitu dibanggakan orang tuaku! Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan ini?”
“Sorry, Tan. Ini ga kaya yang kamu bayangin kok. Aku bia jelasin” Katanya sambil menarik tanganku keluar bar.
“Apa? Jelasin apa? Ini udah jelas. Jangan pegang-pegang aku!”
“Biar aku jelasin ini di luar, ayo ikut aku” Fahri terus menarik tanganku.
“Nggak, jangan sentuh aku! Kalau kamu emang butuh ngejelasin, jelasin di sini”
“Okay...aku jelasin...iya aku emang kaya gini, aku busuk, aku ga sebaik yang orang lain kira”
“Bagus kalau kamu nyadar hal itu”
“Tapi kamu harus tau, alasanku kaya gini itu karena orang tuaku”
“Kamu udah tau salah, bisa-bisanya ya bawa orang tua kamu”
“Aku serius, Tan...aku dari kecil selalu dituntut untuk jadi sempurna, nilaiku harus paling tinggi di kelas, aku harus lulus cepet, aku harus kuliah di luar negeri, tapi itu semua bukan karena aku ga mampu, aku bisa ngelakuin itu semua tapi aku ngerasa penuh tekanan dan gak bebas, akhirnya aku nuangin semua masalah aku ke minum. Soal agama, minum itu haram, aku juga sangat tau itu, aku pun tulus melakukan ibadah karena aku emang bener-bener tunduk atas perintah Allah tapi sekali lagi, aku hanya butuh kebebasan dan untuk yang aku bilang, aku gak mau pacaran itu, selain Islam memang tidak memperbolehkan pacaran, aku juga belum nemu seseorang yang bener-bener aku cintai jadi aku mencoba-coba mendekati berbagai wanita kaya yang kamu liat tadi”
Aku masih mematung, tak menyangka akan penjelasan Fahri ini, lalu dia melanjutkan.
“Tapi jujur, setelah Ayahku bilang ingin mengenalkan aku dengan anak temannya, kamu. Aku udah mulai ngerasa beda pas kita pertama ketemu, aku ga pernah nemu orang yang begitu cocokya ngobrol sama aku kaya kamu.” kata Fahri sambil tersenyum memandangku.
“Tapi...tapi kenapa kamu tetep pergi ke sini? Ketemu cewek ini? Dan bahkan kamu juga jarang menghubungiku!”
“Soal aku ga ngehubungin kamu itu, aku ingin menyelesaikan hubunganku dengan cewek itu dulu, tetapi cewek itu meminta untuk bertemu dan memeluknya sebagai salam perpisahan. Setelah ini, aku gak ada hubungan apa-apa lagi sama dia”
Aku hanya mematung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Kamu boleh gak percaya, Tan...tapi kalau kamu percaya, aku janji gak akan ada lagi pencitraan, gak akan ada lagi dusta, aku serius ingin menjalin hubungan sama kamu dan mengingat usia kita yang terbilang sudah pantas untuk menikah juga membuat aku tambah yakin untuk membina rumah tangga sama kamu”
***
            Melihatku yang terus menerus termenung dan mengurung diri di kamar membuat orang tuaku tergerak untuk menghampiriku.
“Nduk, Ayah sama Ibu udah denger soal Fahri dari Tasya.” kata Ayahku.
“Iya Nduk, keputusan akhirnya sih gimana perasaan kamu aja, Ibu sama Ayah akan terima keputusan kamu kok, dan Ibu yakin Fahri juga akan menerima keputusan itu.”
“Wong asalnya emang baik kok si Fahri itu.” Ayahku menambahkan.
“Iya ibu juga yakin Fahri itu laki-laki yang bisa jaga kamu kalau kita udah nggak ada, Nduk. Tapi tetep semua keputusan di kamu, kita percaya kamu bisa ambil keputusan yang terbaik untuk masa depanmu” Kata ibu sembari tersenyum meyakinkan.
***
            Semakin hari, ucapan Ayah dan Ibu selalu terngiang ditelingaku. Semakin kurasa ternyata memang Fahri ini mungkin sudah masuk terlalu dalam di hatiku. Semakin kuingin lupa, semakin sering aku menemukan sosoknya pada orang lain. Ilusi akan bayangannya sudah mengambil alih diriku sepenuhnya. Darinya aku belajar menerima karena kemampuan mencintai diuji bukan ketika pertama kali jatuh cinta, tetapi saat orang yang kamu cintai memeperlihatkan kekurangannya dan itu juga membuktikan satu hal: aku belum pernah benar-benar mencintai orang lain selain Fahri. Betapa bahagianya aku akhirnya mendapatkan kesempatan untuk merasakan anugerah mencintai dan dicintai Fahri. Semoga dia akan selalu berusaha memperbaiki dirinya menjadi lebih baik dan selalu bersedia membimbingku menuju syurga-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SHORT STORY

UNUSUAL GALLERY IN PENGADEGAN             Barbara Austen was a student of The Pengadegan Art School near STBA LIA. She was a really...