THE TRUTH
Perekenalkan aku adalah Tania
Fransisca seorang mahasiswa semester 6 yang cukup banyak diketahui di
lingkungan kampus, sebut saja namaku dan aku yakin mereka akan mengetahui aku,
tetapi aku mungkin belum tentu mengetahui mereka. Bukan bemaksud sombong, tetapi
memang akulah satu-satunya mahasiswa yang menjadi buah bibir para dosen karena
diangkatanku, hanya aku yang selalu memegang IP (Indeks Prestasi) sempurna 4,0
pada setiap semester. Aku pun aktif dan sempat dipercayakan untuk menjadi ketua
dalam suatu organisasi dan setiap event yang aku pegang selalu menuai
kesuksesan, kepuasan, dan respon positif dari setiap partisipan, selain itu aku
juga cukup menawan dengan wajahku yang tidak gempal tetapi juga tidak begitu tirus,
kulitku yang cerah kekuningan, dan tinggiku yang semampai untuk menarik
perhatian hampir seluruh lawan jenis di kampusku. Yups, aku bisa mendapatkan
lelaki manapun yang ku mau, tetapi aku tidak pernah benar-benar menemukan
laki-laki yang tulus mencintaiku. Aku bahkan sudah tidak tahu bagaimana
mendefinisikan kata tulus itu.
Pernah suatu ketika ada beberapa
laki-laki yang sangat baik terhadapku dan begitu perhatian tetapi ternyata
mereka hanya mengambil keuntungan dariku, seperti mereka haus akan kepopularitas
di kampus, mereka ingin numpang eksis atas kepopuleranku, atau lebih parahnya
mereka hanya memanfaatkan kinerja otakku untuk membantu mereka mengerjakan
tugas. Mungkin aku yang memang terlalu baik atau bahkan terlalu bodoh untuk
jatuh dalam perangkap laki-laki tak bertanggung jawab itu, tetapi sesungguhnya
aku belum pernah sama sekali menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
Ya jangan heran, aku memang belum
menemukan sosok laki-laki yang aku cari dan aku cintai sepenuh hati. Jangan
tanya juga sudah berapa banyak komentar dari teman-temanku atau bahkan orang
tuaku pun ikut-ikutan memprotes aksiku ini.
“Nduk,
kamu mbok ya cari pacar gitu loh, inget umurmu, udah semester 6 kok masih aja
jomblo toh.”
“Aku
kan lagi fokus kuliah, Yah. Mbok ya doain toh biar cepet wisuda, malah suruh
cari pacar.”
“Ayah
percaya sama kamu, Nduk. Kamu bisalah wisuda cepet, tapi jangan tugas mulu gitu
loh yang diperhatiin.”
“Iya
Nduk, Ayahmu itu benar loh...percuma kalau kamu wisuda cepet tapi ga ada yang
kamu gandeng pas wisuda” Ibuku tiba-tiba muncul dari dapur dan langsung
bersekutu dengan Ayah.
“Ibu
sama Ayah ini ya bisanya ngeledekin anaknya mulu” Kataku pura-pura kesal supaya
mereka bersedia untuk mengakhiri topik ini.
“Hahaha
Nduk, inget umur Ibu sama Ayah juga, kita kan pengen liat kamu nikah sama
laki-laki yang lebih hebat dari Ayah yang akan selalu jaga kamu kalau Ayah udah
nggak ada” Ah ternyata topik ini malah terus berlanjut dan membuatku pilu.
“Nggak
mungkin ada laki-laki yang bisa ngalahin
Ayah, nggak mungkin ada yang bisa jaga aku ssebaik Ayah” Kataku sembari
meneteskan air mata.
“Pasti
ada, Nduk suatu saat nanti cuma emang kamu belum ketemu waktu yang tepat untuk
bisa dapetin laki-laki itu” Kata Ibu sambil memelukku.
***
“Sya,
masa Bokap sama Nyokap nanyain gue punya pacar lagi sih semalem untuk kesekian
kalinya” ceritaku saat berjumpa dengan Tasya di kampus.
“Dan
udah kesekian kalinya juga kan gue udah nyomblagin lo dengan cowok-cowok
terbaik yang gue kenal, tapi selalu lo tolak?”
“Cowok-cowok
terbaik apaan? Cowok-cowok yang manfaatin gue doang maksudnya? Hahaha. Tapi
seriusan deh, semalem malah jadi melow gitu Bokap gue nyinggung-nyinggung kalau
dia udah gak ada gimana, siapa yang akan jaga gue, kan gue sedih, Sya.”
“Hmm
okay gue akuin ada beberapa emang cowok yang gak bener itu hahaha sorry...tapi
kalau Bokap lo aja sampe bilang kaya gitu, lo mesti serius cari pacar dari
sekarang” Kata Tasya sambil mengguncang-guncang tubuhku.
“Lo
kira gampang apa cari pacar? Lo aja yang nyari pacar mulu dari dulu gak dapet,
apalagi gue? Hahaha.”
“Sialan
lo ye... hahaha tapi serius deh gue punya temen yang beda sama cowok yang pernah
gue kenalin dulu ke lo” Kata Tasya penuh keyakinan.
“Lo
yakin? Gue sih nggak deh kayanya...”
“Lo
mesti ketemu dulu deh sama orangnya sekali aja paling nggak, kalau lo gak suka
gue gak akan maksa...gue hubungin ya orangnya, ntar gue suruh dia chat lo” Kata
Tasya tanpa mempedulikan protesku.
***
Namanya Abyan Arief, umurnya lebih
tua dariku 3 tahun. Secara fisik dia bisa buat para cewek-cewek tertarik dan
saat dia mengeluarkan suara baritone-nya pasti bikin cewek-cewek tergila-gila.
Masalahnya dia jarang mengeluarkan suara, aku nggak tahu apa dia memang orang
yang benar-benar pendiam atau memang obrolan kita yang nggak nyambung. Minat
dan hobi kita terlalu berbeda, aku suka banget musik klasik sedangkan dia suka
banget musik rock, aku suka banget baca buku sedangkan dia tahu Jane Austen
penulis keren favoritku aja nggak, bahkan saat kita nonton film, dia malah
sukses tertidur dengan pulasnya dan aku berakhir nonton sendirian. Nggak banyak
percakapan yang terjadi di anatara kami karena kalau aku ngoceh sendiri tentang
apapun yang bisa kulihat atau apapun minat dan hobiku itu gak dihitung
percakapan, bahkan parahnya dia sendiri juga jarang mengungkapkan minat dan
hobinya, seolah dia memang tidak ingin membuka dirinya denganku.
***
“Gimana-gimana
kemaren? Abyan ganteng banget kan? Gue yakin lo pasti suka kan? Lo ngapain aja
kemaren sama dia?” Tasya langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan
“Yaampun,
Sya baru juga gue dateng udah diinterogasi aja” Kataku manyun.
“Abis
gue penasaran, kali ini cowok pilihan gue gak gagal kan? Cerita dong, Tan”
“Lo
mau tau?”
“Iyalah,
buru cerita” Kata Tasya tidak sabaran.
“Abyan
ganteng sih...tapi jarang banget ngomong”
“Ohiya
gue lupa bilang sama lo Abyan emang anaknya pendiem gitu, Tan jadi lo sih yang
mesti nyari topik pembicaraan sama dia”
“Udah,
Sya. Gue udah bisa dibilang gila kali ngobrol sendiri mulu” Kataku frustasi.
“Serius
lo? Masa sih Abyan sependiem itu?”
“Mungkin
emang minat kita kali ya yang beda banget, tapi gimana juga gue bisa tau
minatnya dia, dia aja ga pernah cerita”
“Serius
lo? Lonya kali kurang mancing dia. Jalan sama dia sekali lagi deh biar lo deket
sama dia!”
“No
way, cukup ya buat gue jalan sama dia. Lo bilang juga kan coba jalan sekali aja
dan udah gue turutin kan saran lo? Jadi bye Abyan”
“Lo
lupa ya sama omogan lo dan bonyok lo? Amnesia lo ye?”
“Ya
abis mau gimana, gue sama Abyan emang beda”
“Ya
bedalah, lo cewek, dia cowok hahaha. Tapi kalau gitu kita berhasil dong nemuin
masalah lo tentang percintaan ini? Lo berarti butuh orang yang punya minat yang
sama kaya lo!”
“Berenti
becanda ga lo? Hahaha. Eh tapi iya juga sih ya...”
“Yaudah
kalau gitu gampang kan? Lo tinggal pergi ke perpus kek, cari cowok yang
sama-sama ngefans berat sama Jane Austen kesayanagn lo itu atau banyakin nonton
konser musik klasik kek biar lo ketemu sama pianist-pianist yang bisa
mencet-mencet hati lo biar meleleh hahaha, gimana?”
“Boleh
juga ide lo, tumben lo pinter hahaha”
***
Setelah perburuanku beberapa hari
belakangan ini, aku berhasil menumukan seorang lelaki yang sudah memainkan
piano sejak dia berumur 4 tahun ya walau dia tidak begitu menyukai Jane Austen,
tetapi setidaknya dia juga mengerti Sastra, penulis favoritnya adalah Haruki
Murakami. Aku pun pernah membaca dua judul buku Murakami: Norwegian Wood dan Kafka On
The Shore, tetapi selebihnya aku tidak begitu mengetahui apapun tentang
penulis asal Jepang tersebut. Ah iya,
saking terlalu semangatnya menceritakan kesamaan kami, aku sampai lupa
memperkenalkannya, namanya Faiz Lazuardi. Namanya jelas seindah orangnya, dia
mempunyai postur tubuh yang tegap, ideal bak atlet-atlet internasional karena
dia sering melakukan workout setiap weekend dan ternyata memang benar ya hasil
workout lebih bagus daripada hasil gym atau fitness dan pastinya jauh lebih
hemat katanya hahaha. Ya, memang benar Laz panggilan akrabnya ini memang agak
sedikit pelit, tapi tak apa toh akupun juga mempunyai prinsip yang sama
dengannya: tidak suka membuang uang apalagi dengan uang orang tua.
***
Tak terasa sudah beberapa minggu aku
jalan dengan Laz tetapi kami masih belum memiliki status yang jelas dan semakin
lama kami melakukan banyak hal bersama justru membuatku semakin gamang, aku
merasa bosan menjalani rutinitsaku dengan Laz yang sama terus menerus. Ke
perpustakaan, membaca buku yang sama, berdiskusi tentang tokohnya setelah kami
selesai membacanya. Ke pertunjukan musik klasik atau bahkan aku melihat Laz
memainkan piano untukku berkali-kali dan melihatnya latihan untuk kompetisi
musik yang kan ia ikuti akhir tahun ini.
Aku bosan, entah lelaki seperti apa
yang aku inginkan. Lelaki dengan minat yang beerbeda aku tak bisa
mengimbanginya, lelaki dengan minat yang sama malah membuat aku bosan. Mungkin
benar seperti kutipan Jane Austen dalam buku Sense And Sensibility yang selalu kuingat: semakin luas kulihat dunia, semakin aku yakin tak ada pria yang bisa
sungguh-sungguh kucinta.
***
Suatu ketika, Ayah dan Ibu bicara
padaku tentang anak temannya Ayah yang baru pulang dari luar negeri dan
menyelesaikan Strata satunya di sana dengan label cum laude. Kuduga, mungkin
Ayah dan Ibu sudah mendengar dari Tasya tentang berbagai upayaku untuk
mendapatkan pacar dan akhirnya kedua orang tuaku turun tangan, tetapi akupun
tak sepenuhnya yakin apakah kisahku akan berbeda dengan yang ini?
***
Mungkin aku memang harus mengakui
kalau kaliamat: pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk anaknya itu benar
karena Muhammad Fahri Adzan ini adalah laki-laki yang sangat sempurna. Seperti
namnnaya Adzan, setiap Adzan selesai dikumandangkan dia akan langsung mengambil
air wudhu dan menunaikan shalat. Seperti gelar cum laude yang telah diraihnya,
tutur kata dan sikapnya pun mencerminkan orang yang memiliki intelektual tinggi
dan minat sastra yang tidak kalah tingginya. Dia juga menyukai Jane Austen dan
musik klasik sama sepertiku. Tetapi yang menjadi masalah: dia jarang sekali
menghbungiku. Mungkin ini sikapnya karena ingin berpegang teguh pada prinspnya
untuk tidak boleh pacaran sebelum menikah, tetapi apakah chat saja sudah
membuatnya sangat berdosa dan masuk neraka? Aku kan hanya ingin mengenalnya
lebih dalam.
“Serius
lo, Fahri gak ngehubungin lo?” Tanya Tasya saat aku ceritakan soal Fahri.
“Serius...dia
gak suka kali ya sama gue?”
“HAH?
SSEORANG TANIA BISA NIH NGOMONG KAYA GINI? HAHAHA” Tasya terbahak mendengar
ucapanku.
“Sial
lo ye...serius nih gue”
“Hahaha
iya deh sorry sorry...tapi seriusan deh kayanya gak mungkin dia gak suka sama
lo, secara lo kan perfect abis...mungkin karena prinsipnya gak mau pacaran itu
kali ya...atau lo mau coba selidikin dia?”
“Hah?
Selidikin gimana maksud lo?”
“Ya
lo buntutin aja dia, lo cari tau lebih dalem kaya apa sih sifat aslinya dia”
“Boleh
juga tuh ide lo”
***
Dengan rasa penasaran yang menggebu,
aku dan Tasya menuju rumah Fahri yang ku dapat alamatnya dari buku-buku catatan
Ayah, aku tidak ingin menanyakan langsung kepada Ayah dan Ibu tentang alamat
Fahri karena toh aku ke sana kan hanya untuk membuntuti Fahri.
Sesampainya di rumah Fahri, aku
melihat mobil yang biasa dia tumpangi keluar, aku membuntuti mobilnya dengan
menumpang sebuah taksi karena jika aku menggunakan mobil pribadiku, aku takut
dia sudah mengenalinya dan rencanaku akan gagal.
Mobil Fahri berhenti di suatu kantor
yang aku duga mungkin itu memang tempatnya bekerja karena dia belum pernah
membicarakan pekerjaannya padaku atau pun orang tuaku. Setelah cukup lama
menunggu, tidak ada hal berarti terjadi. Mungkin memang benar, Fahri memang
laki-laki baik-baik yang tidak pernah berbuat macam-macam. Pada sore menjelang
malam, mobilnya keluar dari kantor, tetapi mobil itu bukan melaju ke arah
rumahnya, mobil itu melaju ke suatu bar. Di sana Fahri menghabiskan tiga gelas
bir dalam waktu 15 menit dan tidak lama berselang, ada seorang wanita yang
menghampiri Fahri dan mereka berpelukan di sana. Aku sudah tidak tahan lagi,
segera saja aku menghampiri Fahri.
“JADI
INI YANG DILAKUKAN SEORANG FAHRI?” Teriakku tak terkontrol membuat seisi bar
menoleh ke arahku.
“..Tan...Tania
kamu ngapain di sini?” Tanyanya gagap.
“Aku?
Menyelidiki calon imamku yang begitu dibanggakan orang tuaku! Kamu sendiri? Apa
yang kamu lakukan ini?”
“Sorry,
Tan. Ini ga kaya yang kamu bayangin kok. Aku bia jelasin” Katanya sambil
menarik tanganku keluar bar.
“Apa?
Jelasin apa? Ini udah jelas. Jangan pegang-pegang aku!”
“Biar
aku jelasin ini di luar, ayo ikut aku” Fahri terus menarik tanganku.
“Nggak,
jangan sentuh aku! Kalau kamu emang butuh ngejelasin, jelasin di sini”
“Okay...aku
jelasin...iya aku emang kaya gini, aku busuk, aku ga sebaik yang orang lain
kira”
“Bagus
kalau kamu nyadar hal itu”
“Tapi
kamu harus tau, alasanku kaya gini itu karena orang tuaku”
“Kamu
udah tau salah, bisa-bisanya ya bawa orang tua kamu”
“Aku
serius, Tan...aku dari kecil selalu dituntut untuk jadi sempurna, nilaiku harus
paling tinggi di kelas, aku harus lulus cepet, aku harus kuliah di luar negeri,
tapi itu semua bukan karena aku ga mampu, aku bisa ngelakuin itu semua tapi aku
ngerasa penuh tekanan dan gak bebas, akhirnya aku nuangin semua masalah aku ke
minum. Soal agama, minum itu haram, aku juga sangat tau itu, aku pun tulus
melakukan ibadah karena aku emang bener-bener tunduk atas perintah Allah tapi sekali
lagi, aku hanya butuh kebebasan dan untuk yang aku bilang, aku gak mau pacaran
itu, selain Islam memang tidak memperbolehkan pacaran, aku juga belum nemu
seseorang yang bener-bener aku cintai jadi aku mencoba-coba mendekati berbagai
wanita kaya yang kamu liat tadi”
Aku
masih mematung, tak menyangka akan penjelasan Fahri ini, lalu dia melanjutkan.
“Tapi
jujur, setelah Ayahku bilang ingin mengenalkan aku dengan anak temannya, kamu.
Aku udah mulai ngerasa beda pas kita pertama ketemu, aku ga pernah nemu orang
yang begitu cocokya ngobrol sama aku kaya kamu.” kata Fahri sambil tersenyum
memandangku.
“Tapi...tapi
kenapa kamu tetep pergi ke sini? Ketemu cewek ini? Dan bahkan kamu juga jarang
menghubungiku!”
“Soal
aku ga ngehubungin kamu itu, aku ingin menyelesaikan hubunganku dengan cewek
itu dulu, tetapi cewek itu meminta untuk bertemu dan memeluknya sebagai salam
perpisahan. Setelah ini, aku gak ada hubungan apa-apa lagi sama dia”
Aku
hanya mematung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Kamu
boleh gak percaya, Tan...tapi kalau kamu percaya, aku janji gak akan ada lagi
pencitraan, gak akan ada lagi dusta, aku serius ingin menjalin hubungan sama
kamu dan mengingat usia kita yang terbilang sudah pantas untuk menikah juga
membuat aku tambah yakin untuk membina rumah tangga sama kamu”
***
Melihatku yang terus menerus
termenung dan mengurung diri di kamar membuat orang tuaku tergerak untuk
menghampiriku.
“Nduk,
Ayah sama Ibu udah denger soal Fahri dari Tasya.” kata Ayahku.
“Iya
Nduk, keputusan akhirnya sih gimana perasaan kamu aja, Ibu sama Ayah akan
terima keputusan kamu kok, dan Ibu yakin Fahri juga akan menerima keputusan itu.”
“Wong
asalnya emang baik kok si Fahri itu.” Ayahku menambahkan.
“Iya
ibu juga yakin Fahri itu laki-laki yang bisa jaga kamu kalau kita udah nggak
ada, Nduk. Tapi tetep semua keputusan di kamu, kita percaya kamu bisa ambil
keputusan yang terbaik untuk masa depanmu” Kata ibu sembari tersenyum
meyakinkan.
***
Semakin hari, ucapan Ayah dan Ibu
selalu terngiang ditelingaku. Semakin kurasa ternyata memang Fahri ini mungkin
sudah masuk terlalu dalam di hatiku. Semakin kuingin lupa, semakin sering aku
menemukan sosoknya pada orang lain. Ilusi akan bayangannya sudah mengambil alih
diriku sepenuhnya. Darinya aku belajar menerima karena kemampuan mencintai
diuji bukan ketika pertama kali jatuh cinta, tetapi saat orang yang kamu cintai
memeperlihatkan kekurangannya dan itu juga membuktikan satu hal: aku belum
pernah benar-benar mencintai orang lain selain Fahri. Betapa bahagianya aku
akhirnya mendapatkan kesempatan untuk merasakan anugerah mencintai dan dicintai
Fahri. Semoga dia akan selalu berusaha memperbaiki dirinya menjadi lebih baik
dan selalu bersedia membimbingku menuju syurga-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar